Adipati Karna, Satriya yang Terasingkan



Bagi pencinta dunia pewayangan, khusunya etos Mahabarata, tentunya tak asing lagi dengan tokoh yang bernama Karna, atau yang sering akrab disebut dengan Adipati Karna.
Ya. .  Karna adalah salah satu tokoh besar yang kisahnya tak bisa dipisahkan dari epos mahabaratha. Menjadi salah satu panglima paling setia bagi kelompok kurawa. Namun bukan berarti Karna memiliki sifat sama culasnya dengan para kurawa yang lain. Jauh dari yang diketahui oleh para pencinta wayang, sejatinya Karna adalah salah satu dari jajaran satriya utama di jagad pewayangan tersebut,

Para pendengar wayang mungkin  telah hapal dengan sifat Karna yang kasar dan tidak pertnah bisa bicara halus kepada orang lain, bahkan kepada Adirata selaku ayah angkatnya. Namun diluar itu, Karna merupakan cerminan satriya yang memiliki kedisiplinan dan loyalitas yang tinggi terhadap junjungannya. Masa lalu yang kelam dan perlakuan diskriminasi pada dirinyalah yang membuat dia lantas berpindah haluan menjadi pendamping setia Duryudana.
Terlahir dari rahim seorang putri terhormat dari kerajaan Mandura, Dewi Kunti Talibrata, namun Karna terlahir tanpa seorang ayah disampingnya. Dewi Kunti mendapatkan kehamilan tersebut secara tidak sengaja dari Bathara Surya. Dewi  Kunti secara tak menggunakan ajian  Pameling Pamekasing Rasa dan mendatangkan Bathara Surya, secara tak sengaja pula, karena terlena akan kecantikan Dewi Kunti, terjadi hal yang diinginkan antara mereka berdua.
Dari hubungan tersebut, Dewi Kunti mengandung seorang anak tanpa melalui proses pernikahan yang sah. Demi menjaga kesucian Dewi Kunti, maka oleh gurunya. Resi Druwasa, proses persalinan Dewi Kunti dilakukan melalui telinganya. Bayi yang terlahir melalui telinga tersebut lantas diberi nama Karna. Demi menjaga wibawa kerajaan Mandura, atas saran dan permintaan Resi Druwasa, Bayi Karnapun akhirnya dilarung disungai Gangga, yang berakhir dengan ditemukan oleh seorang kusir Astina, Kusir Adirata. 
Karna tumbuh dewasa dibawah asuhan Adirata dan Nadha sebagai orang tua angkatnya, selain itu Ramabargawa pun ikut andil dalam hal melatih olah kanuragan bagi dirinya.

Karna terasingkan dari kehidupan kerajaan Hastinapura karena dirinya tumbuh besar dilingkungan keluarga kusir kerajaan. Oleh sebab itulah Resi Durna dan para Pandhawa selalu tidak bisa menerimanya ketika Karna mengajukan keinginannya untuk ikut belajar bersama mereka.
Berada dibawa tekanan dan diskriminasi atas status sosialnya, tak membuat Karna menyesali nasibnya menjadi anak buangan, dia tahu dirinya merupakan keturunan Dewa Matahari, dengan hanya berbekal ilmu yanga ada pada dirinya, Karna berkembang  menjadi salah satu kesatriya pemanah yang kehebatannya bisa disandingkan dengan Arjuna.


Dari semua pangeran dikerajaan Hastinapura, hanya Duryudana lah yang mau mengakui keberadaan dirinya dan memberikan kepercayaan kepada Karna untuk memimpin sebuah wilayah di Awangga, dan memberi gelar kepada Karna, sebagai Adipati Karna.
Penerimaan Duryudana atas diri Karna inilah yang lantas membuat Karna begitu setia mendampingi Duryudana, bahkan saat akan meletus Perang Barathayudha, Karna tetap bersikukuh untuk berada dipihak Kurawa, walaupun ibu kandungnya telah mengatakan identitas diri Karna yang masih terhitung saudara para Pandhawa. Namun semua itu tak merubah Karna beralih pihak kepada Pandhawa. 
Diakhir cerita Karna akhirnya gugur ditangan Arjuna, yang secara dasar masih terhitung sebagai saudara kandungnya.

Karna adalah cerminan seorang kesatriya yang terlupakan keberadaan dirinya, mendapat diskriminasi dari semua pihak mengenai statusnya yang hanya anak kusir kerajaan, selalu mendapat ketidakadilan dalam kesehariannya. Semua hal itulah yang membuatnya menjadi sosok yang kasar dan seolah tak memiliki empati kepada orang lain. Namun, dibalik semua itu, kita bisa belajar banyak hal adri sosok Adipati agung dari negeri Awangga ini, belajar mengenai kesetiaan, tentang perjuangan, dan kekuatan mental untuk tetap berusaha maju walaupun kita dilecehkan oleh oprang disekitar kita. Pengakuan Duryudana atas keberadaan dirinya lah yang membuat Karna rela mempertaruhkan hidupnya untuk tetap berada pada pihak Kurawa.


100% Karya Sendiri
nOT cOPAS
SAlam Semangat!!!!!!!!

Deskripsi Nafsu Manusia dalam Epik Ramayana

Sudah tak diragukan lagi bahwa kesenian Wayang di Indonesia, bahkan ditingkat dunia telah dikenal sebagai kesenian hiburan asli Indonesia yang tak hanya terkenal dari sisi seni dan hiburannya, namun juga terkenal dengan kesenian hiburan yang sarat dengan nilai dan pesan moral yang membangun dan dapat dijadikan sebagai tuntunan dan pembangunan karakter bangsa.
Wayang yang telah akrab dengan kehidupan rakyat Indonesia, masyarakat jawa pada khusunya mulai dikenal setelah dibawakan oleh Sunan Kalijaga ke tanah jawa pada abad terdahulu. Dengan mengangkat cerita-cerita yang diadopsi dari cerita Ramayana dan Mahabarata dari India, Kanjeng Sunan Kalijaga dengan cerdasnya mampu menggubah isi dari cerita epos tersebut yang pada awalnya berisi tentang ajaran-ajaran agama Hindu dan Budha, sehingga sesuai dengan kebudayaan dari masyarakat Jawa yang mayoritas pada saat itu masih dalam keadaan transisi dari agama Hindu Budha menuju ke arah perkembangan agama Islam. Dengan meramu cerita-cerita wayang tersebut Sunan Kalijaga mampu mengenalkan nilai-nilai mulia yang terdapat dalam agama Islam kepada masyarakat Jawa. Adanya kreatifitas dalam meramu cerita-cerita epos tersebut menjadikan cerita pewayangan di tanah Jawa, sedikit berbeda dengan cerita dalam versi aslinya yang berasal dari India, namun tak merubah inti daripada cerita epos Ramayan dan Mahabarata.
Wayang telah terkenal dengan pesan moralnya dalam setiap pertunjukannya. Tak terkecuali juga dengan lakon Ramayana. Dalam cerita ini dikenalkan adanya empat elemen nafsu yang ada dalam setiap diri manusia dalam cerita Ramayana disimbolkan dengan empat putra dari Dewi Sukesi dan Begawa Wisrawa, yaitu Prabu Rahwana, Raden Kumbakarna, Dewi Sarwakenaka, dan Raden Gunawan Wibisana. Keempat elemen nafsu itu antara lain.
  1. Nafsu Amarah.
Nafsu amarah terlambangkan dengan warna merah dan dilambangkan dalam pewayangan dengan tokoh Prabu Rahwana atau Dasamuka. Nafsu berkaitan dengan amarah yang pasti ada dalam setiap diri manusia, jika pribadi seseorang lebih banyak menyelesaikan problem yang ada pada dirinya dengan emosi tinggi maka dapat dipastikan bahwa elemen nafsu amarahlah yang memimpin dalam diri manusia tersebut. Nafsu ini dilambangkan dengan tokoh Prabu Rahwana karena sesuai dengan watak dan karakter Prabu Rahwana yang pemarah dan tidak sabaran dalam menghadapi segala situasi.

Prabu Rahwana
  2. Nafsu Luamah
    Nafsu ini dilambangkan dengan warna hitam dan dalam cerita Ramayana dilambangkan dengan tokoh Raden Kumbakarna. Nafsu luamah ini berkaitan dengan nafsu akan kebutuhan makan dan tidur. Nafsu ini juga sering dilambangkan dengan nafsu yang mewakili keserakahan dan ketamakan. Jika dalam menjalani kehidupannya, lebih mengutamakan kebutuhan “perut” dan tidur, dapat diperkirakan bahwa dalam dirinya nafsu luamah yang memimpin dalam dirinya. Nafsu ini tergambar pada pribadi Raden Kumbakarna karena adik dari Prabu Rahwana ini kesehariannya hanya memikirkan urusan perut dan tidurnya saja.
    Raden Kumbakarna
    1. Nafsu Sufiah
    Nafsun ini terlambangkan dengan warna Kuning dan digambarkan dengan tokoh Dewi Sarpakenaka. Nafsu ini berkaitan dengan nafsu seksual atau kesenangan yang berhubungan dengan syahwat. Dewi Sarpakenaka dijadikan sebagai lambang dari nafsu sufiah ini karena dalam kepribadiannya Dewi Sarpakenaka selalu menggoda laki-laki rupawan yang ada dilingkungan istananya. Pernah sekali dia berusaha menggoda Raden Laksmana yang tak lain adalah adik dari Sri Rama untuk menuruti hawa nafsunya. Namun hal itu dapat dicegah oleh Laksmana dengan cara menampar Dewi Sarpakenaka hingga hidungnya berdarah. Jika dalam menjalani kehidupannya manusia lebih mengutamakan nafsu syahwat maka yang memimpin hatinya adalah nafsu sufiah tersebut.

    Dewi Sarpakenaka

    1. Nafsu Mutmainah
    Nafsu ini terlambangkan dengan warna putih dan digambarkan dengan tokoh Raden Gunawan Wibisana. Nafsu ini merupakan nafsu yang suci atau yang telah bisa dikendalikan oleh pribadi manusia masing-masing, namun jika dibandingkan denganm ketiga nafsu yang lain, nafsu mutmainah ini merupakan nafsu yang sangat lemah daya kendalinya, oleh sebab itu sangat mudah terkalahkan oleh ketiga nafsu yang lain. Jika manusia dalam menjalani hidupnya mampu menahan dirinya dari segala perbuatan buruk, dapat dipastikan bahwa nafsu sufiah ini telah menang dalam mengendalikan hatinya. Raden Gunawan Wibisana dijadikan sebagai penggambaran nafsu sufiah ini karena dalam kesehariannya dia selalu berusaha berbuat baik dan bijak dalam memutuskan suatu persoalan. Oleh sebab itulah dia paling dibenci oleh ketiga kakak-kakaknya yang lain, hingga dia terusir dari Kerajaan Alengkadiraja.

    Raden Gunawan Wibisana

    Itulah penggambaran nafsu dari serat Ramayana, seperti apapun keadaannya, dalam diri manusia selalu ada keempat nafsu tersebut yang selalu berusaha untuk dapat memimpin hati manusia. Tinggal bagaimana manusia yang bersangkutan mengendalikan apa yang ada dalam hatinya.

    100% Karya Sendiri..
    Not Copas..
    Kartika Si Gadis Optimis.

    Duryudana, Sang Pemimpin Kurawa, Pengobar Perang Baratayudha


    Jika dikelompok kita mengenal Yudistira sebagai sulung para Pandawa, sekarang akan kuperkenalkan kepada pembaca yang budiman dan mencintai budaya dari tanah jawa, Sang pemimpin dari kelompok Kurawa, Prabu Duryudana.
    Prabu Duryudana merupakan anak pertama dari Prabu Destarata dan Dewi Gendari, dialah yang menjadi sulung para kelompok Kurawa. Duryudana memiliki sifat yang culas dan selalu kurang senang dengan kehidupan para Pandawa, dalam hidupnya, dia selalu didampingi oleh Patih Sengkuni, yang tak lain adalah pamannya sendiri, adik kandung dari Dewi Gendari dari kerajaan Plasajenar.
    Duryudana dan Sengkuni memang dekat apalagi sejak Duryudana memegang posisi sebagai raja di Negeri Hastinapura, menggeser posisi ayahnya yang sebenarnya masih berkuasa sebagai raja tertinggi di Hastinapura. Duryudana menobatkan dirinya sendiri sebagai pimpinan Hastinapura tanpa mendapat ijin, restu dan persetujuan dari para sesepuh Hastinapura seperti Resi Bisma, Arya Widura dan Prabu Salya.
    Dia semakin bertingah keterlaluan saat para Pandawa berhasil diperdaya sehingga harus terusir dari Hatinapura. Dia kerahkan Hastinapura sesuai dengan keinginannya sendiri, seakan dialah yang benar-benar berkuasa diatas tanah Hastinapura, dengan memanfaatkan kelemahan ayahnya yang tidak memiliki penglihatan yang memadai.
    Dibawah kepimimpinannya, Hastinapura mengalam masa-masa tak secerah pada saat Prabu Pandu masih memegang kekuasaan di kerajaannya.
    Pandawa yang masih memiliki hak atas tanah Hastinapura seringkali datang ke Hastinpura untuk meminta hak mereka, paling tidak setengah dari kerajaan peninggalan ayah mereka. Oleh karena itu  tak jarang BIma, Arjuna , Nakula, Sadewa dan Kresna berkali-kali datang sebagai duta bagi Puntadewa untuk meminta separuh dari kerajaan Hastinapura.
    Namun puncak daripada kecurangan Duryudana adalah tantangan perang yang dilayangkan kepada Pandawa .
    Duryudana tewas ditangan Bima pada perang yang telah direncanakannya sendiri.

    100% karya sendiri
    NOt COpas
    Salam Semangat!!!
    Kartika SI Gadis Optimis.